BPN GRESIK
Jl. Dr. Wahidin Sudiro Husodo No.234 Gresik

Translate

Share

Posted In: . By prasetyobpn.blogspot.com

Program PTSL Pastikan Penyelesaian Sertifikasi Lahan Akan Sesuai Target




Belum adanya jaminan kepastian hukum atas tanah seringkali memicu terjadinya sengketa dan perseteruan atas lahan di berbagai wilayah di Indonesia. Selain di kalangan masyarakat, baik antarkeluarga, tak jarang sengketa lahan juga terjadi antarpemangku kepentingan (pengusaha, BUMN dan pemerintah). Hal itu membuktikan pentingnya sertipikat tanah sebagai tanda bukti hukum atas tanah yang dimiliki.

Lambannya proses pembuatan sertipikat tanah selama ini menjadi pokok perhatian pemerintah. Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN telah meluncurkan Program Prioritas Nasional berupa Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).

PTSL adalah proses pendaftaran tanah untuk pertama kali, yang dilakukan secara serentak dan meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftarkan di dalam suatu wilayah desa atau kelurahan atau nama lainnya yang setingkat dengan itu. Melalui program ini, pemerintah memberikan jaminan kepastian hukum atau hak atas tanah yang dimiliki masyarakat.

Metode PTSL ini merupakan inovasi pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat: sandang, pangan, dan papan. Program tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri No 12 tahun 2017 tentang PTSL dan Instruksi Presiden No 2 tahun 2018.

PTSL yang populer dengan istilah sertipikasi tanah ini merupakan wujud pelaksanaan kewajiban pemerintah untuk menjamin kepastian dan perlindungan hukum atas kepemilikan tanah masyarakat. Selain itu nantinya masyarakat yang telah mendapatkan sertipkat dapat menjadikan  sertipikat tesebut sebagai modal pendampingan usaha yang berdaya dan berhasil guna bagi peningkatan kesejahteraan hidupnya.

Menteri ATR/ Kepala BPN Sofyan Djalil berharap program PTSL dapat mewujudnyatakan pembangunan yang rata bagi Indonesia. “PTSL ini akan mempermudahkan pemerintah daerah untuk melakukan penataan kota. Kami juga memastikan penerima sertipikat tepat sasaran, yakni para nelayan dan petani serta masyarakat lainnya agar mereka dapat memulai peningkatan kualitas hidup yang lebih baik,” tutur Sofyan.

Menilik kembali ke 2017, Kementerian ATR/BPN berhasil melakukan pengukuran tanah masyarakat sebanyak 5.2 juta bidang tanah atau melebihi target 5 juta yang diberikan. Pencapaian tersebut diraih berkat kerja sama yang baik antar Kementerian, inovasi pelayanan dan teknologi, serta pelibatan dan partisipasi masif oleh masyarakat.

Saat ini dari 126 juta bidang tanah di Indonesia, sebanyak 51 juta bidang tanah telah terdaftar. 79 juta bidang tanah sisanya menjadi target kegiatan pendaftaran tanah, sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

Tahun 2018 ini, Pemerintahan Jokowi-JK melalui Kabinet Kerja akan fokus pada peningkatan Sumber Daya Manusia. Untuk itu Kementerian ATR/BPN memastikan penggunaan tenaga juru ukur, petugas PTSL yang berkualitas dan berkompeten untuk melaksanakan Program PTSL, mulai dari penyuluhan, pendataan, pengukuran, Sidang Panitia A, Pengumuman dan pengesahan, serta penerbitan sertipikat. Kementerian ATR/BPN juga memastikan seluruh proses tersebut dilakukan secara mudah, transparan, dan efisien.

Sebagai gambaran, jika menggunakan metode pendaftaran tanah sporadis, maka maksimum pencapaian target per tahun adalah hanya 1 juta bidang tanah, yang artinya untuk menyelesaikan 79 juta bidang diperlukan waktu 79 tahun. Sementara melalui PTSL, target pendaftaran 79 juta bidang tanah itu dapat diselesaikan pada tahun 2025.

 

By prasetyobpn.blogspot.com

Peningkatan Status dari Hak Guna Bangunan Menjadi Hak Milik Untuk Rumah Tinggal

Bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia menyebabkan semakin tingginya kebutuhan masyarakat akan rumah tinggal. Hal inilah yang menyebabkan usaha jual beli property menjadi suatu usaha yang cukup marak  di lapangan, tidak hanya jual beli yang dilakukan oleh pengembang  saja, melainkan juga yang dilakukan oleh perorangan.
Sebelum tahun 1998, sebagian besar tanah-tanah yang berada di Jakarta banyak yang berstatus Hak Guna Bangunan. Oleh karena pada masa itu ada wacana bahwa perpanjangan hak atas tanah merupakan salah satu metode menambah pemasukan ke kas pemerintah. Namun demikian, seiring dengan pergantian kepemimpinan, dan perubahan situasi politik serta ekonomi, dimungkinkan bahwa khusus untuk rumah tinggal yang dimiliki oleh seorang warga Negara Indonesia tunggal dapat dimiliki dengan status Hak Milik. Hal ini ditegaskan dalam  Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal.

Apa perbedaan Hak Guna Bangunan dengan Hak Milik?
Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) sampai (3) UUPA Hak Guna Bangunan (“HGB”) adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Hak Guna Bangunan diberikan untuk Warga Negara Indonesia (WNI) dan Badan Hukum Indonesia. Jadi secara prinsip, HGB merupakan hak yang diberikan oleh Negara kepada WNI ataupun Badan Hukum Indonesia tersebut untuk mendirikan bangunan di atas tanah yang dimiliki/dikuasai oleh Negara. HGB ini dapat beralih, dialihkan dan dijadikan sebagai jaminan hutang.
Sedangkan Hak Milik berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (1) dan (2) UUPA adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai seseorang atas tanah (1). Hak milik ini hanya dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (tunggal) dan Badan-badan hukum khusus lainnya sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963. Hak milik ini bisa beralih atau dialihkan dan juga bisa dijadikan sebagai jaminan hutang.
Mengapa jika kita membeli rumah di areal perumahan dari pengembang statusnya selalu Hak Guna Bangunan?
Jadi begini, pada umumnya pengembang di suatu perumahan merupakan sebuah perseroan terbatas. Sebagaimana di uraikan di atas, bahwa yang dapat memiliki tanah-tanah dengan status Hak Milik hanyalah WNI tunggal. Oleh karena itu, saat pengembang tersebut memperoleh tanah yang nantinya akan dijadikan sebagai areal perumahan, biasanya tanah-tanah yang masih berstatus hak milik yang dibeli dari warga setempat harus dilepaskan terlebih dahulu ke Negara barulah dimohonkan kembali menjadi Hak Guna Bangunan atas nama Pengembang yang bersangkutan. (*Untuk proses pelepasan hak atau pembebasan hak tersebut akan dibahas secara tersendiri kemudian).
Dengan demikian, saat pengembang tersebut memecah sertifikat dan membangun rumah-rumah di atas tanah tersebut, maka tanah tersebut dilakukan jual beli dalam kondisi masih berstatus Hak Guna Bangunan.
Dapatkah pembeli rumah yang dibeli dari pengembang tersebut meningkatkan status tanah haknya menjadi Hak Milik?
Jawabannya tergantung pada status pembeli rumah dimaksud. Kembali ke syarat pemilikan tanah dengan status Hak Milik sebagaimana diuraikan di atas, maka jika pembeli rumah dimaksud adalah WNI tunggal atau dengan kata lain perorangan WNI, maka tanah dengan status HGB tersebut dapat ditingkatkan menjadi hak milik. Untuk peningkatan status tersebut dapat diajukan sendiri oleh pemilik tanah langsung ke kantor Pertanahan setempat. Namun demikian, beberapa pengembang juga menyediakan jasa untuk menguruskan peningkatan status menjadi Hak Milik kepada konsumennya.
Jika pembelinya berstatus badan hukum, maka pembeli tersebut tidak bisa meningkatkan status hak atas tanahnya dari Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik. Demikian pula jika ternyata pembelinya berstatus Warga Negara Asing (“WNA”). Karena mereka tidak memenuhi syarat sebagai pemegang hak milik. Khusus untuk WNA, berlaku ketentuan dalam Peraturan pemerintah No. 103 Tahun 2015 tentang  Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia. Mengenai hal ini akan dibahas lagi secara tersendiri.
Bagaimana caranya dan Apa Kriterianya?
Berdasarkan Surat edaran dari Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tertanggal 18 September 1998 tentang  Petunjuk lebih lanjut mengenai pelaksanaan pemberian Hak Milik atas tanah untuk rumah tinggal, maka prosedur pemberian hak milik untuk rumah tinggal adalah sebagai berikut:
1)  bagi tanah untuk RSS/RS, yaitu yang dibangun secara massal (kompleks) dengan luas tanah sampai 200 M2 : dengan pemberian Hak Milik secara umum dengan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1997 jo. Nomor 15 Tahun 1997 dan Nomor 1 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik atas Tanah untuk RSS/RS;
2)   bagi tanah untuk rumah tinggal yang telah dibeli oleh pegawai negeri dari Pemerintah : dengan pemberian Hak Milik secara umum dengan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1998;
3)   bagi tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai untuk rumah tinggal yang luasnya 600 M2 atau kurang di luar yang tersebut angka 1) dan 2) di atas : dengan pemberian Hak Milik secara umum dengan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1998 ini;
4)    bagi tanah untuk rumah tinggal lainnya ;
dengan pemberian Hak Milik secara individual berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972 jo. Nomor 5 Tahun 1973.
Dokumen apa yang harus disiapkan ?
Untuk tanah dengan luas tidak lebih dari 600 m² prosedurnya lebih mudah, beberapa dokumen yang harus disiapkan adalah:
  1. Formulir permohonan yang telah disediakan di kantor Pertanahan setempat;
  2. Asli sertifikat tanah (baik itu Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha maupun Hak Pakai) yang akan ditingkatkan statusnya;
  3. Fotocopy surat IMB (Izin Mendirikan Bangunan) yang menerangkan bahwa tanah tersebut digunakan untuk rumah tinggal; atau surat keterangan dari Kepala Desa/Kelurahan setempat bahwa bangunan tersebut digunakan untuk rumah tinggal;
  4. Fotocopy SPPT Pajak Bumi dan Bangunan tahun berjalan berikut bukti lunasnya (STTS) nya;
  5. Asli Surat Rekomendasi Perum Perumnas (jika rumah dibangun oleh Perumnas) di atas tanah Hak Pengelolaan Lahan Perumnas.
  6. Identitas pemohon (KTP dan KK);
  7. Surat pernyataan bahwa pemohon akan memperoleh SHM tidak lebih dari 5 (lima) bidang yang seluruhnya meliputi luas tidak lebih dari 5.000 (lima ribu) m².
  8. Surat Kuasa (jika pengurusannya dikuasakan kepada pihak tertentu seperti Notaris)Membayar biaya
Sedangkan untuk tanah yang luasnya lebih dari 600 m² diperlakukan seperti permohonan hak baru hanya saja prosesnya bukan melibatkan Panitia A. Panitia A adalah pemberian hak yang terdiri dari petugas BPN dan kelurahan. Proses yang dilakukan dalam permohonan hak milik berupa konstatering report hanya di BPN. Outputnya berupa Surat Keputusan (SK) pemberian hak milik. Untuk dokumen persyaratannya sama dengan pengurusan tanah yang kurang dari 600 m².
Bagaimana dengan biayanya?
Dulu berdasarkan penghitungan sesuai PP No. 46 Tahun 2002 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional, ditetapkan dengan rumus perhitungan sebagai berikut :
{2% x (NPT-NPTTKUP)} – {(Sisa HGB/Jangka Waktu HGB) x UP HGB x 50%}
Contoh :
harga NJOP tanah       : Rp.1.500.000/m2
luas tanah                    : 215 m2
maka NJOP tanah       : 1.500.000 x 215 = 322.500.000
jadi biaya pemasukan kas negara untuk peningkatan SHM adalah:
2% x (322.500.000-60.000.000) = Rp. 5.250.000
Maka biaya yang dikenakan untuk peningkatan HGB menjadi SHM adalah 5.250.000
Namun demikian, PP No. 46 Tahun 2002 tersebut sudah dicabut dengan Peraturan Pemerintah No. 128 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (“PP No.128/2015). Berdasarkan PP No.128/2015 tersebut, untuk proses peningkatan status hak atas tanah dari HGB menjadi Hak Milik atau dari Hak Pakai Menjadi HGB saat ini tidak dikenakan pemasukan ke Negara sebagaimana perhitungan tersebut di atas.
Dalam PP No. 128/2015 tersebut ditetapkan bahwa untuk per bidang nya dikenakan tarif resmi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp. 50.000,–/bidang. Untuk biaya pengurusannya bagaimana? Dalam praktiknya jika dikerjakan melalui pihak ketiga akan tetap ada biaya tambahan yang besarnya relative. Sehingga untuk menekan biaya, sebaiknya pemilik sertifikat mengurus sendiri proses peningkatan status tersebut ke Kantor Pertanahan setempat letak tanah, agar bisa mendapatkan biaya minimal.
Kalau Ruko, Mengapa tidak bisa ditingkatkan Menjadi Hak Milik?
Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1998 tersebut memang diperuntukkan bagi Rumah tinggal saja yang bisa ditingkatkan menjadi hak milik. Dengan demikian, jika bentuk bangunan maupun di dalam IMB nya tertulis bahwa bangunan tersebut merupakan Ruko, maka tidak dapat diajukan peningkatan haknya menjadi Hak Milik. Walaupun pemiliknya adalah WNI Perorangan? Ya, walaupun pemiliknya adalah WNI Perorangan. Karena memang ke istimewaan tersebut hanya diberikan bagi rumah tinggal, dengan filosofi bahwa rumah tinggal memang diperuntukkan bagi yang bersangkutan untuk memilikinya selamanya.
Tapi… kenapa ya, tetangga saya pemilik ruko bilang bahwa tanahnya berstatus Hak Milik? Nah, kalau begitu, biasanya kejadiannya adalah: sebelum pembangunan ruko tersebut dilakukan, tanahnya sudah berstatus Hak Milik, dan kemudian pemiliknya membangun ruko di atas tanah tersebut. Jadi bukan berasal dari HGB yang ditingkatkan menjadi Hak Milik.
Lalu,.. mengapa tanah kosong yang berstatus HGB tidak dapat ditingkatkan menjadi Hak Milik? Kembali lagi ke konsep dan filosofi pemilikan tanah untuk Hak Milik sebagaimana di atas, bahwa peningkatan hak atas tanah dari HGB menjadi Hak Milik hanya bisa diperuntukkan untuk rumah tinggal. Oleh karena itu, IMB menjadi salah satu syarat yang sulit disimpangi dalam pengajuan permohonan dimaksud.
Sudahkah anda meningkatkan status hak atas tanah untuk rumah anda menjadi Hak Milik? 
Sumber :
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria
Keputusan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1998 Tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal
Peraturan Pemerintah  No. 46 Tahun 2002 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada
Peraturan Pemerintah No. 125 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.

 

Bank Tanah: Strategi Pemerintah Kendalikan Harga Tanah

Posted In: , , . By prasetyobpn.blogspot.com


Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) terus mengupayakan pembentukan Bank Tanah. Menteri ATR / Kepala BPN Sofyan A. Djalil mengungkapkan pembentukan Bank Tanah merupakan strategi pemerintah untuk dapat mengendalikan harga tanah yang saat ini terus melonjak tinggi. "Kalau ada bank tanah, kita bisa ambil tanah-tanah yang terlantar, tanah bekas kawasan hutan dan harganya nanti dikendalikan, tidak seperti sekarang," ujarnya pada Forum Ekonomi Nusantara dengan tema 'Peran Perbankan dalam Mendukung Sektor Properti sebagai Lokomotif Perekonomian' di Hotel Pullman, Jakarta, Rabu (14/12).

Pemerintah, kata Sofyan, seharusnya juga dapat mengatur harga tanah. Hal tersebut seperti yang tertulis pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat 3 yang menyatakan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Akan tetapi secara de fakto negara tidak memiliki tanah sehingga tidak dapat mengendalikan harga tanah. "Pembentukan Bank Tanah seharusnya dilakukan sejak dahulu, karena masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) kesulitan memiliki rumah akibat tingginya harga tanah ," pungkasnya.

Nantinya tanah yang masuk dalam Bank Tanah akan diberikan Hak Pengelolaan dan pemanfaatan tanahnya digunakan untuk Lahan Perumahan dan pembentukan Kota Baru, Pembangunan Infrastruktur, Industri dan pariwisata, Pertanian dan Pangan, dan Penanganan Bencana. Sofyan menjelaskan peraturan untuk pembentukan Bank Tanah juga tidak lagi perlu menunggu terbentuknya undang-undang tapi cukup dengan Peraturan Pemerintah. “Kita akan kebut bikin PP. Jangan lagi tunggu Undang-Undang draftnya nanti di Januari 2017 bisa selesai. Karena kita targetkan di 2017 itu sudah beroperasi,” kata Sofyan.

Menurutnya percepatan pembentukan Bank Tanah semata-mata dilakukan dalam rangka membantu Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) agar dapat memiliki tanah dan rumah mereka sendiri. Meski demikian Sofyan menyadari bahwa industri properti merupakan industri yang melibatkan banyak pihak, karenanya Sofyan mengundang peran aktif perbankan menyalurkan Kredit Perumahan Rakyat khususnya pada KPR- Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). "Kami memberikan apresiasi yang tinggi untuk Bank BTN yang secara konsisten menjadi penyalur KPR-FLPP terbesar," pujinya.

Kementerian ATR/BPN melalui Bank Tanah akan fokus pada ketersediaan lahan dengan harga terkendali bagi pembangunan Perumahan MBR dan Rusunami yang pembangunannya dapat melibatkan BUMN, BUMD dan Developer swasta.  

 sumber : http://www.bpn.go.id/Berita/Siaran-Pers/bank-tanah-strategi-pemerintah-kendalikan-harga-tanah-65592

 

"QUO VADIS" INTEGRASI AGRARIA DAN TATA RUANG

Posted In: . By prasetyobpn.blogspot.com


Integrasi urusan agraria-pertanahan dengan penataan ruang dalam satu kementerian bukanlah ahistoris, melainkan telah mendasarkan pada amanat konstitusi dan relevan dengan kebijakan politik pemerintahan saat ini.

Penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang agraria-pertanahan dan penataan ruang selama ini merupakan urusan yang terpisah meski satu sama lain sangat terkait. Regulasi yang mengaturnya, kebijakan politik yang menaunginya, dan kelembagaan yang menanganinya juga berbeda. Kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla mengintegrasikan keduanya dalam satu kementerian, yakni Kementeriaan Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).

Meski demikian, hampir dua tahun kementerian ini terbentuk, kebijakan dan bentuk integrasi kedua urusan ini belum menampakkan wujudnya. Atau janganjangan salah satu pertimbangan pergantian menteri ATR/BPN ini adalah kegagalan atau belum berhasilnya mengintegrasikan kedua urusan dalam satu kementerian.

Urgensi integrasi

Penyatuan bidang keagrariaan, tata ruang, dan pertanahan dapat dibaca sebagai upaya menata kelembagaan yang berlandaskan pada konstitusi dan regulasi dalam pengelolaan agraria dan sumber daya alam, visi dan misi pemerintah, serta kebutuhan dalam menjalankan tugas pemerintahan di bidang keagrariaan-pertanahan dan tata ruang. Pengintegrasian BPN dengan Ditjen Penataan Ruang Kementerian PU menjadi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional merupakan perubahan paradigma dalam melihat sumber daya agraria.

Jika awalnya agraria-pertanahan dipahami sebagai persilpersil tanah, melalui kelembagaan yang baru dipahami sebagai kondisi, status, dan fungsi hubungan antarpersil yang membentuk sebuah poligon yang saling memengaruhi yang kemudian disebut sebagai ruang. Sumber daya agraria dengan matra utama tanah merupakan ruang hidup bagi penduduk. Untuk itu, pengaturan penguasaan dan pemilikan atas agraria-tanah harus selaras dan serasi dengan penggunaan dan pemanfaatan ruang.

Berkaitan dengan konsep ruang dan agraria, ternyata "agraria" dalam UUPA hakikatnya sama dengan pengertian "ruang" dalam UU Penataan Ruang (Hutagalung, 2015). Bumi, air dan kekayaan alam adalah makna agraria secara konstitusi yang inheren dengan makna ruang dalam UU Penataan Ruang.

Dalam perspektif land management, terintegrasinya land tenure, land use, land value, dan land development yang didukung dengan land information infrastructures dan dibingkai melalui land policy yang tepat merupakan prasyarat terwujudnya pembangunan berkesinambungan(Enemark, et al, 2005). Dalam konteks ini, terintegrasinya agraria-pertanahan dengan tata ruang adalah prakondisi menuju pembangunan berkelanjutan.

Instrumen integrasi

Urusan keagrariaan-pertanahan yang meliputi pengukuran dan pemetaan kadastral, penatagunaan tanah, pengaturan hubungan hukum subyek dan obyek hak, penguatan hak dan pemberdayaan masyarakat, land reform, pendaftaran tanah hingga penyelesaian sengketa dan konflik selama ini "hanya" memperhatikan dan mempertimbangkan tata ruang. Sementara itu, penyelenggaraan penataan ruang, baik pada level perencanaan, pemanfaatan, maupun pengendalian pemanfaatan ruang, masih menafikan aspek-aspek keagrariaan-pertanahan, terutama penguasaan dan pemilikan tanah.

Makna yang inheren antara 'agraria' dan 'ruang' merupakan entry point integrasi pengaturan penguasaan dan pemilikan tanah (land tenure) dengan penggunaan dan pemanfaatan ruangnya. Titik masuk ini perlu diakselerasi melalui beberapa instrumen yang dapat digunakan untuk mengintegrasikan urusan agraria-pertanahan dan tata ruang.

Pertama, one map policy. Kebijakan satu peta multiguna mesti berupa informasi geospasial dasar yang berbasiskan persil-persil tanah (parcel based). Informasi spasial dan tekstual berkenaan bidang-bidang tanah mampu mengumpan terintegrasinya urusan agraria-pertanahan dengan tata ruang untuk berbagai keperluan pembangunan.

Kedua, neraca penatagunaan tanah, yakni perimbangan antara ketersediaan tanah dan kebutuhan penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan RTRW. Neraca ini meliputi neraca perubahan, neraca kesesuaian penggunaan tanah terhadap RTRW, dan prioritas ketersediaan tanah. Instrumen ini sangat representatif untuk digunakan dalam berbagai urusan pembangunan wilayah yang mensyaratkan terintegrasinya urusan agraria-pertanahan dan tata ruang.

Ketiga, konsolidasi tanah, merupakan instrumen yang dapat digunakan untuk penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang sekaligus berperan dalam penataan kawasan. Apabila ini diimplementasikan, secara otomatis konten pertanahan dan tata ruang akan terintegrasi mengingat penataan kawasan ini berbasiskan pada informasi spasial dan tekstual bidang-bidang tanah.

Ketiga instrumen di atas dapat dioperasionalisasikan dan dipatuhi oleh pemerintah dan pemerintah daerah (yang mempunyai otoritas dalam penataan ruang) jika dibingkai dalam regulasi setingkat peraturan presiden. Dalam hal ini Kementerian ATR/BPN akan secara apik memerankan dua kakinya, satu kaki untuk urusan pertanahan yang dioperasionalisasikan oleh Kanwil BPN dan Kantor Pertanahan dan satu kaki untuk urusan tata ruang yang menjadi otoritas pemerintah daerah.

Apabila ini dapat dilakukan, integrasi urusan agraria-pertanahan dan tata ruang akan segera diwujudkan demi pembangunan berkelanjutan. Pergantian Menteri ATR/Kepala BPN merupakan momentum yang tepat untuk membumikan integrasi agraria-pertanahan dan tata ruang.

 

Usaha Ditjen Tata Ruang Dalam Percepatan Penyusunan RDTR

Posted In: . By prasetyobpn.blogspot.com




Denpasar – DirekturJenderal Tata Ruang, Dr. Ir. Budi Situmorang, MURP mengatakan, bahwa RDTR harus jadi champion di Direktorat Jenderal Tata Ruang. Alih-alih membicarakan totalitas dan kualitas dari Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang ada, Indonesia saat ini masih focus pada jumlah karena RDTR masih minim dari segi kuantitas. “Dengan kegiatan kali ini, kita semua harus bisa mempelajari RDTR Jakarta, RDTR Medan, dan RDTR Bandung.

Kita harus mempelajari secara konsep dan harus bisa memahami secara garis besar mengenai RDTR. Jadi jika diberi unjuk RDTR Jakarta misalnya, teman-teman harus bisa membaca dan menjelaskan RDTR tersebut dengan jelas.” tuturnya, Senin (16/5).

Kegiatan Pengembangan Kapasitas SDM Dalam Penyusunan RDTR dimaksudkan sebagai sarana penyegaran bagi aparatur pemerintah terkait penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Peraturan Zonasi yang sesuai prinsip-prinsip dan kaidah perencanaan yang baik, dan sejalan dengan peraturan perundang-undangan terkait bidang penataan ruang.

“Semua kota metropolitan, semua ibukota Provinsi harus selesai RDTRnya. Ibukota provinsi wajib ada RDTRnya. Jika belum bisa terpenuhi semua, paling tidak, secara keseluruhan beberapa kota metropolitan harus ada RDTRnya karena dinamika ekonomi berada disana. Karena sering kita hadapi adanya anggapan bahwa tata ruang menghambat datangnya investor.”Ujar Dirjen Tata Ruang pada sesi pembukaan.

Acara ini terselenggara mulai dari tanggal 16-20 Mei 2016 di Bali. Materi Pengembangan Kapasitas SDM Dalam Penyusunan RDTR meliputi: Arahan dan Diskusi dengan Direktur Jenderal Tata Ruang, Overview Peraturan Bidang Tata Ruang, Review RDTR dan PZ (Permen PU 20/2011) dengan Dr. Ir. Denny Zulkaidi, MUP dan Dr.Petrus Natalivan, ST. MT,Guru besar Planologi ITB sebagai narasumber. Lalu pada dua hari berikutnya, secara berturut-turut peserta dibagi menjadi dua kelas dengan materi pengembangan Proses Teknis Penyusunan RDTR dan Proses Teknis Penyusunan PZ.

“Sejak tahun 2011 tidak ada lagi pelatihan mengenai PZ. Kebanyakan saat ini hanya meng-copy paste dari yang sudah ada. Kami secara akademik memberikan arahan, dan memperbaiki kekeliruan yang ada. Ini merupakan kesempatan emas bagi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN untuk memperbaiki Peraturan yang  didalamnya terdapat kekeliruan atau ketidaklengkapan dan mengganti pedoman menjadi Pedoman ATR bukan lagi Pedoman Kemen PU,” ujar Denny Zulkaidi di sela materi pengembangan SDM.

Habib Subagio dari BIG juga memberikan materi Sistem Informasi Geografis dalam Penyusunan RDTR. Selain itu pengembangan SDM ini juga dilengkapi dengan Sharing Pengalaman Daerah dalam Penyusunan RDTR dan PZ serta implementasinya: Persoalan dan lesson learned dengan Narasumber dari Pemerintah DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Denpasar; ada juga Sharing Pengalaman Daerah dalam Proses Persetujuan Substansi: Persoalan dan Lesson learned dengan Narasumber dari Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Jawa Timur sebelum kegiatan ini ditutup.

sumber :  http://www.bpn.go.id/Berita/Siaran-Pers/usaha-ditjen-tata-ruang-dalam-percepatan-penyusunan-rdtr-63025

 

Petunjuk Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Masyarakat

Dalam rangka menjamin kepastian hukum hak atas tanah masyarakat dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pendaftaran tanah perlu dilakukan percepatan pendaftaran tanah dengan memberikan kemudahan bagi masyarakat yang akan mendaftarkan tanahnya.
Yang dituangkan dalam Surat Menteri Agraria Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Tanggal 14 April 2016 Nomor : 1756/15.1/IV/2016 perihal Petunjuk Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Masyarakat. 
File dapat di Download pada link : https://www.4shared.com/web/preview/pdf/r8HGKWAQba
 

 

Akhirnya Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2016 tentang Bentuk dan Isi Sertipikat Hak Atas Tanah.
Dalam Peraturan Menteri ini diatur tentang Pendaftaran Tanah di Indonesia dengan menggunakan sistem KKP yaitu Komputerisasi Kantor Pertanahan Pasal 2 ayat (1).
Dengan di aturnya sistem KKP di Peraturan Menteri ini secara langsung dapat diartikan bahwa sistem Komputerisasi Kantor Pertanahan ( KKP ) yang selama iini digunakan pada proses Pendaftaran Tanah di Kantor Pertanahan telah mempunyai dasar hukum dalam penggunaan aplikasi dalam Proses Pendaftaran Tanah di Indonesia.

Pada Peraturan Menteri ini juga di atur mengenai bentuk blangko sertipikat tanah yang nantinya hanya 1 lembar saja yang antara lain memuat mengenai Subyek dan Obyek mengenai tanah dan Foto Pemilik tanah juga ditampilkan dalam blangko sertipikat yang baru ini.
Untuk selengkapnya silahkan baca di link dibawah ini 

http://www.bpn.go.id/Publikasi/Peraturan-Perundangan/Peraturan-Kepala-BPN-RI/peraturan-menteri-agraria-dan-tata-ruangkepala-badan-pertanahan-nasional-nomor-7-tahun-2016-62039

 

CARI BLOG INI

Anda Pengunjung Ke...

PENGUNJUNG HARI INI

BUKU FAVORIT UNTUK ANDA


Masukkan Code ini K1-8C2F34-C
untuk berbelanja di KutuKutuBuku.com

Blog Top Sites

Law Blogs