Kepala Badan Pertanahan Nasional Hendarman Supandji menilai meningkatnya kasus konflik sengketa lahan di sejumlah daerah merupakan dampak tidak berjalanya reformasi agraria. Lahan pertanian yang menjadi hak para petani dalam rencana land reform dan capital reform sesuai yang diamanatkan dalam undang undang no 5 tahun 1960, pada kenyataan berpindah penguasaan.

Mantan Jaksa Agung ini pun mengakui penguasaan sepihak sejumlah puluhan hektar lahan petani oleh perorangan atau perusahaan itu, karena lemahnya pengawasan terhadap pemanfaatan lahan. Pihaknya menurut aman tidak bisa langsung menelusuri lantaran tidak memiliki wewenang undang undang."Kita tidak bisa melakukan pemeriksaan, sementara ini berdasarkan hasil temuan penyidik KPK," ujar Aman Usai mengikuti seminar di gedung Lemhanas Jalan Merdeka Selatan no 10 Jakarta Pusat Selasa (04/12) siang.

"Saya baru mengetahui setelah adanya laporan hasil laporan pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap sejumlah kasus korupsi," ujar Aman. Hasil temuan KPK menurutnya ada seorang kepala daerah yang mempunyai lahan seluas satu juta hektare. Hal itu dinilainya sangat janggal. Meski pemilik tanah tercatat atas nama anaknya, keluarganya, dan saudaranya. "saya tidak bisa menyebutkan siapa orangnya, yang jelas ada banyak," tegasnya.

Sesuai aturan, batas kepemilihan lahan atas nama pribadi 2 hektare di kawasan padat penduduk. Adapun di kawasan minim penduduk seseorang bisa menguasai lahan hingga 4 hektare.

Meski tidak bisa menyebutkan namanya, pihaknya menyilakan kalau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memproses orang itu. "Saya mendapat surat dari KPK yang mempertanyakan ada kepala daerah yang punya lahan seluas itu. Jadi kalau lahannya disita, tidak masalah."

Kasus lain menurut Hendarman adanya penguasaan lahan yang melampaui batas oleh perusahaan perkebunan. Walaupun, masa pakai lahan rakyat tersebut telah berakhir menurut catatan BPN, perusahaan enggan mengembalikannya kepada petani. "Padahal perusahaan tersebut, sudah tidak mampu lagi menggarap, dan menjadi lahan tidur," kata Hendarman.

Ia menjelaskan, solusi persoalan itu adalah kembali menjalankan reformasi agraria, baik secara land reform dan capital reform secara terawasi. Sehingga petani bisa berproduksi menghasilkan pangan tanpa perlu terjadi konflik. "Sekarang banyak sengketa tanah, banyak investor tidak memperhatikan petani setempat. Lahan tidak dikuasai petani dan investor tidak mau sehingga akhirnya terjadi saling bunuh," ujar Hendarman.

Yang membuatnya miris, petani sekarang rata-rata hanya memiliki tanah garapan 2 ribu sampai 5 ribu meter persegi. Dengan lahan seluas itu tentu sangat tidak cukup bagi mereka untuk menghidupi keluarganya.

Hendarman melanjutkan, kalau penyidik ingin mengusut kasus itu maka caranya sangat mudah. "Penyidik bisa meminta kepala daerah itu untuk membuktikan secara terbalik. Bukan penyidik yang menelusuri kepemilikan lahan, tapi penyidik yang meminta dia membuktikannya.".

dikutib dari :  indosiar.com, Jakarta - (04/12/2012)