UUPA dan Akselerasi Reforma Agraria
Posted In:
ARTIKEL PERTANAHAN
.
By prasetyobpn.blogspot.com
Oleh Doddy Imron Cholid
”Perlu
infrastruktur yang memadai sehingga masyarakat mampu mengembangkan tanahnya
sebagai sumber kehidupan”
Tiap
24 September, jajaran Badan Pertanahan Nasional (BPN) memperingati Hari Agraria
Nasional atau HUT Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) ditandai dengan penyerahan
sertifikat tanah redistribusi atau tanah objek landreform, yang sekarang lebih
dikenal dengan reforma agraria. Penyerahannya dilakukan kepada instansi
pemerintah, yayasan keagamaan, dan masyarakat. Reforma agraria kali pertama
dicanangkan dan dilaksanakan oleh Presiden Soekarno pada 1961. Namun karena ada
persoalan politik seolah-olah landreform merupakan produk partai tertentu
sehingga pelaksanaannya tidak berjalan baik.
Pentingnya
reforma agraria kembali ditegaskan dengan penerbitan Tap MPR Nomor lX/ MPR/
2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Substansi
dari Tap MPR itu adalah, pertama; penataan hukum dan politik pertanahan. Kedua;
inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan (landreform)
yang berkeadilan. Ketiga; menyelesaikan konflik berkenaan dengan sumber daya
agraria. Keempat; memperkuat kelembagaan dalam rangka pelaksanaan pembaharuan
keagrariaan.
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan kembali pentingnya reforma agraria dalam
pidatonya pada 31 Januari 2007 dengan menyatakan bahwa kegiatan itu
dilaksanakan bertahap dengan terlebih dahulu mengalokasikan tanah bagi rakyat.
Dasar hukum reforma agraria adalah UUD 1945, UUPA, Tap MPR Nomor IX/ MPR/ 2001,
dan pidato Presiden pada 31 Januari 2007.
Mendasarkan
pada subjek-subjek itu, seharusnya tidak ada keraguan melaksanakannya.
Reforma
agraria perlu dilaksanakan karena masih ada masalah struktural berkaitan dengan
tanah. Pertama; dampak negara bekas jajahan masih meninggalkan masalah yaitu
ketimpangan penguasaan tanah. Ada badan hukum menguasai tanah sangat luas,
sementara banyak anggota masyarakat, terutama petani, tidak memilikinya.
Kedua;
terjadinya penurunan kualitas lingkungan akibat pemanfaatan tanah tidak sesuai
dengan daya dukungnya, yang bisa dilihat dari fakta pada musim hujan kebanjiran
dan musim kemarau kekeringan. Bahkan pada musim kemarau banyak waduk dan
saluran irigasi yang kering. Ketiga; konversi penggunaan sawah ke nonsawah dan
kurangnya air irigasi mengakibatkan gagalnya panen yang mengancam ketahanan
pangan. Keempat; banyak anggota masyarakat tak memiliki rumah karena tidak ada
tanah. Kelima; adanya konflik, sengketa dan perkara antarindividu, antara
masyarakat dan badan hukum, masyarakat dan pemerintah, antara pemerintah dan
badan hukum yang mengakibatkan tanah status quo sehingga terjadi opportunity
loss.
Tanah
Terlantar
Ada
empat model reforma agraria di dunia dan yang paling tepat diterapkan di
Indonesia adalah landreform plus seperti disampaikan Presiden SBY. Kepala BPN
RI merumuskannya dalam pola asset reform plus access reform. Asset reform
adalah distribusi tanah yang dikuasai negara yang dimungkinkan oleh UU untuk
didistribusikan ke masyarakat. Adapun access reform adalah setelah menerima
tanah dengan sertifikatnya, pemilik ”masuk” dalam sistem politik negara
sehingga memudahkan untuk permodalannya. Perlu pula infrastruktur yang memadai
sehingga masyarakat mampu mengembangkan tanahnya sebagai sumber kehidupan.
Dari
mana objek (tanah) reforma agraria? Pasal 9 PP Nomor 11 Tahun 2010 tentang
Penertiban Tanah Terlantar menyebutkan tanah terlantar yang sudah ditetapkan
menjadi tanah negara akan menjadi objek. Berdasarkan observasi BPN, objek tanah
terlantar lebih kurang 3,4 juta ha, dan tanah itulah yang menjadi objek
redistribusi.
Di
Jawa Tengah, Kanwil BPN telah melaksanakan reforma agraria dengan menyelesaikan
konflik antara masyarakat dan badan hukum, melalui mediasi berpola win-win
solution. Misalnya di Kauripan Kecamatan Subah Kabupaten Batang, ada perusahaan
melepaskan 32,6 ha tanahnya dan BPN meredistribusikan tanah itu untuk 144
keluarga.
Di
Trisobo Kecamatan Boja Kabupaten Kendal, ada perusahaan melepaskan 11,5 ha
tanahnya untuk diredistribusikan kepada 500 keluarga. Di Mekarsari, Sidasari,
Carui, Kutasari, dan Desa Karangreja Kecamatan Cipari Kabupaten Cilacap, ada
perusahaan melepaskan 300 ha tanahnya untuk diredistribusikan kepada 5.114
keluarga.
Di
tiga lokasi itu memang belum bisa dilaksanakan access reform. Mengingat
urgensinya reforma agraria maka peraturan pemerintah mengenai hal itu, termasuk
derivat pendukungnya yang menegaskan secara rinci mengenai koordinasi dan
pembiayaan dalam access reform, bisa terbit dalam waktu tidak lama lagi.
(Sumber: Suara Merdeka, 26 September 2011).
Tentang penulis :
Ir Doddy Imron Cholid MS, Kakanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Jawa Timur Tahun 2011-2012
Ir Doddy Imron Cholid MS, Kakanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Jawa Timur Tahun 2011-2012
sumber:
http://gagasanhukum.wordpress.com/2011/09/29/uupa-dan-akselerasi-reforma-agraria/
0 Responses to UUPA dan Akselerasi Reforma Agraria
Something to say?