"Kalau ingin mengubah UUPA, kita harus berhati-hati kepada orang atau kelompok itu karena mengubah UUPA, sudah termasuk neolib," ujarnya, di Jakarta, Sabtu (13/1).
       Dijelaskannya, pembuatan UUPA tersebut memakan waktu hingga 12 tahun. Para alumni UGM ikut andil dalam pembuatan lantaran memiliki banyak pakar agraria. Karena tak kunjung rampung, presiden Soekarno memanggil panitia yang susunannya berubah-ubah. Sepuluh hari kemudian, dicapai kesepakatan UUPA tanpa ada voting.
       Kelebihan UUPA  mempunyai penjelasan yang sangat detil dan rinci. "Beda dengan UU hasil produk generasi sekarang, penjelasan UU sudah dianggap jelas sehingga menimbulkan multi-tafsir," ujarnya.
       Sedangkan soal sengkarut pertanahan di Tanah Air, dinilainya karena berbagai UU yang terkait dengan pertanahan tidak mengacu pada UUPA "Inilah biang kerok pengahancur, yakni berbagai UU yang tidak mengacu pada UUPA. Kalau pengejawantahan diubah dengan ide kapitalis, maka besok kita akan tidak mendapat tanah sejengkal pun. Dulu seseorang diberi hak 95 tahun menguasai dan mengolah tanah," ujarnya.
       Kemudian menurutnya, Badan Pertanahan Nasional (BPN), sejatinya tidak hanya mengurusi masalah tanah dan harusnya dipegang oleh Menteri. Namun, karena pada masa pemerintahan Soeharto tidak ingin mengganggu investor, maka hanya diberi izin membentuk BPN yang hanya mengurus tanah secara administratif. "Ini yang sangat disayangkan. BPN hanya mengurusi administrasi pertanahan. Ini celaka!" tegasnya. Jadi beri kewenangan yang lebih besar terhadap BPN untuk mengurusi masalah Pertanahan yang sangat strategis ini.

dikutib dari www.gatra.com