Pembentukan HTN (Hukum Tanah Nasional) yang diawali lahirnya UUPA berusaha melakukan unifikasi hukum tanah adat dan barat menjadi hukum tanah yang bersifat tunggal. Tanah disini dimaknai secara filosofis yang cenderung diartikan sebagai land dan bukan soil. Sehingga tanah dipandang dari multi dimensional dan multi aspek. 

Bahwa sebelum berlakunya UUPA terdapat dualisme hukum agraria di Indonesia yakni hukum agraria adat dan hukum agraria barat. Dualisme hukum agraria ini baru berakhir setelah berlakunya UUPA yakni sejak tanggal 24 September 1960 dan sejak itu untuk seluruh wilayah Republik Indonesia hanya ada satu hukum agraria, yaitu hukum agraria berdasarkan Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria atau UUPA.

Unifikasi hukum tanah dalam UUPA berupaya melembagakan hak-hak atas tanah yang baru. Pembentukan HTN kemudian diikuti dengan dikeluarkannya berbagai peraturan perundang-undangan baru. Hasilnya, hak-hak atas tanah yang baru dapat dibuat dalam hierarki yang berjenjang.

Urutan vertikal mengenai hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah nasional (UUPA) menurut Boedi Harsono yang dikutip oleh Noor (2006) dalam susunan berjenjang yaitu sebagai berikut :
  1. Hak bangsa, sebagai yang disebut dalam Pasal 1 UUPA, merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dan meliputi semua tanah dalam wilayah negara, yang merupakan tanah bersama. Hak bangsa ini dalam penjelasan Umum Angka II UUPA dinyatakan sebagai hak ulayat yang dingkat pada tingkat yang paling atas, pada tingkat nasional, meliputi semua tanah di seluruh wilayah negara.
  2. Hak menguasai dari negara sebagaimana yang disebut dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, merupakan hak penguasaan atas tanah sebagai penugasan pelaksanaan hak bangsa yang termasuk bidang hukum publik, meliputi semua tanah bersama bangsa Indonesia. 
Selengkapnya klik link ini ...