Pembatasan Kewenangan Notaris Selaku Pembuat Akta Tanah dan Pejabat Lelang
Posted In:
ARTIKEL PERTANAHAN
,
SEPUTAR PERTANAHAN
.
By prasetyobpn.blogspot.com
(PEMBAHASAN TENTANG RANCANGAN PERUBAHAN UU JABATAN NOTARIS)
Meski RUU JN tidak mengizinkan notaris untuk membuat risalah lelang, namun penambahan pada Pasal 3A menyatakan bahwa :
notaris dapat diangkat sebagai PPAT dan/ Pejabat Lelang Kelas II (Pejabat Lelang) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bila pada bahasan saya sebelumnya mengenai Rancangan Perubahan UU Jabatan Notaris
No. 30 tahun 2004 (“RUU JN”) sudah membahas mengenai persyaratan dan
kewajiban Notaris, masa magang Notaris dan usia pensiun Notaris serta
pandangan Fraksi-fraksi DPR terhadap RUU JN ini; maka dalam artikel kali ini kami akan membahas mengenai wewenang dan sanksi pelanggaran Notaris menurut RUU JN tersebut:
Hilangnya pasal tentang Tugas dan kewenangan Notaris
terutama berkaitan dengan: tugas dan kewenangan Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT) dan Pejabat Lelang
Menurut Pasal 15 ayat 2 huruf f UU No. 30 tahun 2004, seorang Notaris
berwenang untuk membuat akta yang berkaitan dengan akta-akta
pertanahan. Sebaliknya di RUU
Perubahan Jabatan Notaris, pasal 15 ayat 2 huruf f dihapuskan. Jadi,
Notaris tidak berwenang untuk membuat akta yang berkaitan dengan akta
yang berkaitan dengan pertanahan. Perubahan ini dibuat untuk mencegah
ketidak pastian status hukum.
Juru bicara F-PAN, H. Jamaluddin Jafar di dalam citizenjurnalism.com
mengatakan, Pasal 15 ayat 2 huruf f menyebabkan tumpang tindih antara
kewenangan Notaris sebagai pembuat akta pertanahan dengan wewenang
pejabat pembuat akta tanah (PPAT). Selain itu fraksinya berpendapat RUU JN
ini dapat berperan dalam mencegah penyimpangan-penyimpangan yang
dilakukan para oknum notaris dalam pembuatan akta otentik. Selama ini,
katanya, sering dijumpai oknum notaris yang melakukan pengurusan
sertifikasi rumah menjadi mahal dan berbelit-belit. Kewajiban notaris
untuk memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan secara cuma-cuma
kepada orang yang tidak mampu harus dijalankan secara tegas dan
konsisten dan sanksinya juga tegas serta harus dijalankan secara
konsisten.
Di dalam hukum online juga menyebutkan bahwa Perubahan mengenai
kewenangan notaris untuk membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan
dapat meningkatkan kepastian hukum karena dapat menghilangkan
pertentangan dengan peraturan lain yang memberi wewenang PPAT untuk
membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan. Misalnya, RUU JN
menghilangkan pertentangan dengan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun
1998 tentang PPAT, yang mengatur kewenangan PPAT. Perubahan tersebut
juga menghilangkan pertentangan dengan peraturan hukum lainnya seperti
UU Agraria (UU Nomor 5 Tahun 1960), UU Rumah Susun (UU No 20 Tahun
2011), dan UU Pajak Daerah dan Retribusi (UU Nomor 28 Tahun 2009), yang
menunjuk PPAT sebagai satu-satunya profesi yang berwenang untuk
mengelola masalah pertanahan. Sebagai contoh, penjelasan Pasal 44 dari
UU Rumah Susun yang menyatakan bahwa sertifikat hak milik untuk unit
rumah susun harus dibuat oleh PPAT. Demikian pula dengan Pajak Daerah
dan Hukum Retribusi menunjuk PPAT di dalam Pasal 91-93.
Dulu
diawal terbitnya UU JN NO. 30/2004, adanya ayat yang menyebutkan bahwa
Notaris diberikan kewenangan untuk membuat akta yang berhubungan
pertanahan ini sempat menjadi perdebatan sengit dalam seminar-seminar
yang diadakan oleh Ikatan Notaris. Dimana kabarnya wakil dari BPN merasa
“kecolongan” dengan diundangkannya ayat tersebut ke dalam UU JN. Sebab
kewenangan pembuatan akta yang berhubungan dengan pertanahan diberikan
kepada PPAT. Di satu sisi, para Notaris berpendapat bahwa hal tersebut
sudah tepat. Karena Notaris lah yang memang melakukan perbuatan hukum
pemindahan hak atas tanah. Sampai saat ini pun, masih banyak yang
berpendapat bahwa penghilangan pasal tersebut akan “mengamputasi”
kewenangan dari Notaris dalam pembuatan akta yang berkaitan dengan
tanah.
Dalam praktiknya, walaupun di dalam UU JN No 30/2004 dimasukkan
klausula tentang kewenangan notaries untuk membuat akta-akta yang
berhubungan dengan pertanahan, namun yang dibuat oleh Notaris hanyalah
peralihan hak atas tanah yang sudah berakhir jangka waktunya dan sudah
menjadi tanah Negara, atau tanah-tanah yang memang hanya merupakan hak
sewa atau hak-hak yang menumpang pada hak atas tanah lainnya. Akta-akta
yang dibuat juga berupa akta pengoperan hak, akta pengikatan jual beli,
akta pengikatan hibah, akta pelepasan hak atau jual beli rumah dan
pengoperan hak. Sedangkan untuk tanah-tanah yang hak nya masih ada
(belum habis jangka waktunya – untuk HGB, HGU, Kak Pakai), atau tanah
Hak Milik misalnya maka yang digunakan adalah akta PPAT untuk proses
jual beli, hibah, inbreng, tukar menukar atau pembebanan HGB di atas
tanah Hak Milik.
Satu hal yang perlu di cermati dan kurang pas dalam praktiknya di
lapangan adalah mengenai akta Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
(SKMHT), dimana seperti akta kuasa lainnya, dapat dibuat secara Notariil
walaupun dapat juga dibuat dalam bentuk akta PPAT. Namun, jika akta
SKMHT dibuat secara Notariil maka pendaftarannya tidak diterima oleh
Kantor Pertanahan setempat (kecuali ada beberapa kantor pertanahan yang
mau terima). Sebagian besar kantor pertanahan hanya mau menerima akta
SKMHT dalam bentuk blanko PPAT. Walaupun dibuat secara Notariil. Hal ini
sebenarnya tidak sesuai dengan UU Jabatan Notaris yang sudah menetapkan
mengenai format akta notaries yang bersifat otentik. Namun para
notaries banyak yang masih harus “mengalah” dengan kekuasaan dari Kantor
Pertanahan, dengan membuat akta SKMHT notariil dalam bentuk Blanko
PPAT. Hal ini menurut pendapat saya juga harus mulai diluruskan. Agar
akta notaries benar2 sesuai dengan format dan standard akta yang
ditetapkan dalam UU Jabatan Notaris.
Meski RUU JN tidak mengizinkan notaris untuk membuat risalah lelang, namun penambahan pada Pasal 3A menyatakan bahwa :
notaris dapat diangkat sebagai PPAT dan/ Pejabat Lelang Kelas II (Pejabat Lelang) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk mencegah permasalahan yang timbul dengan adanya Pasal 3A maka
Pasal 15 ayat 2 huruf (f) dan (g) dihapuskan. Karena notaris tidak
memiliki wewenang untuk membuat akta yang berkaitan dengan akta
pertanahan dan risalah lelang, maka Notaris tersebut juga harus menjadi
seorang PPAT untuk membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, dan
menjadi pejabat Lelang Kelas II untuk pembuatan risalah lelang.
Penghapusan huruf (g) pada Pasal 15 ayat 2 UU No 30 tahun 2004
tentang wewenang Notaris membuat akta risalah lelang di dalam RUU
dikarenakan wewenang tersebut berbenturan dengan kewenangan pejabat
lelang kelas dua di dalam pelaksanaan Lelang. Untuk menjadi pejabat
lelang,seorang Notaris harus memenuhi persyaratan sesuai dengan
Peraturan Menteri Keuangan No. 175/PMK.06/2010 tentang pejabat lelang
kelas dua termasuk persyaratan lulus Pendidikan dan Pelatihan Pejabat
Lelang yang diselenggarakan oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan
Kementerian Keuangan.
0 Responses to Pembatasan Kewenangan Notaris Selaku Pembuat Akta Tanah dan Pejabat Lelang
Something to say?