(PEMBAHASAN TENTANG RANCANGAN PERUBAHAN UU JABATAN NOTARIS)

Bila pada bahasan saya sebelumnya mengenai Rancangan Perubahan UU Jabatan Notaris No. 30 tahun 2004 (“RUU JN”) sudah membahas mengenai persyaratan dan kewajiban Notaris, masa magang Notaris dan usia pensiun Notaris serta pandangan Fraksi-fraksi DPR terhadap RUU JN ini; maka dalam artikel kali ini kami akan membahas mengenai wewenang dan sanksi pelanggaran Notaris menurut RUU JN tersebut:

Hilangnya pasal tentang Tugas dan kewenangan Notaris terutama berkaitan dengan: tugas dan kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan Pejabat Lelang

Menurut Pasal 15 ayat 2 huruf f UU No. 30 tahun 2004, seorang Notaris berwenang untuk membuat akta yang berkaitan dengan akta-akta pertanahan. Sebaliknya di RUU Perubahan Jabatan Notaris, pasal 15 ayat 2 huruf f dihapuskan. Jadi, Notaris tidak berwenang untuk membuat akta yang berkaitan dengan akta yang berkaitan dengan pertanahan. Perubahan ini dibuat untuk mencegah ketidak pastian status hukum.
Juru bicara F-PAN, H. Jamaluddin Jafar di dalam citizenjurnalism.com mengatakan, Pasal 15 ayat 2 huruf f menyebabkan tumpang tindih antara kewenangan Notaris sebagai pembuat akta pertanahan dengan wewenang pejabat pembuat akta tanah (PPAT). Selain itu fraksinya berpendapat RUU JN ini dapat berperan dalam mencegah penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan para oknum notaris dalam pembuatan akta otentik. Selama ini, katanya, sering dijumpai oknum notaris yang melakukan pengurusan sertifikasi rumah menjadi mahal dan berbelit-belit. Kewajiban notaris untuk memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu harus dijalankan secara tegas dan konsisten dan sanksinya juga tegas serta harus dijalankan secara konsisten.
Di dalam hukum online juga menyebutkan bahwa Perubahan mengenai kewenangan notaris untuk membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan dapat meningkatkan kepastian hukum karena dapat menghilangkan pertentangan dengan peraturan lain yang memberi wewenang PPAT untuk membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan. Misalnya, RUU JN menghilangkan pertentangan dengan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang PPAT, yang mengatur kewenangan PPAT. Perubahan tersebut juga menghilangkan pertentangan dengan peraturan hukum lainnya seperti UU Agraria (UU Nomor 5 Tahun 1960), UU Rumah Susun (UU No 20 Tahun 2011), dan UU Pajak Daerah dan Retribusi (UU Nomor 28 Tahun 2009), yang  menunjuk PPAT sebagai satu-satunya profesi yang berwenang untuk mengelola masalah pertanahan. Sebagai contoh, penjelasan Pasal 44 dari UU Rumah Susun yang menyatakan bahwa sertifikat hak milik untuk unit rumah susun harus dibuat oleh PPAT. Demikian pula dengan Pajak Daerah dan Hukum Retribusi menunjuk PPAT di dalam Pasal 91-93.
 Dulu diawal terbitnya UU JN NO. 30/2004, adanya ayat yang menyebutkan bahwa Notaris diberikan kewenangan untuk membuat akta yang berhubungan pertanahan ini sempat menjadi perdebatan sengit dalam seminar-seminar yang diadakan oleh Ikatan Notaris. Dimana kabarnya wakil dari BPN merasa “kecolongan” dengan diundangkannya ayat tersebut ke dalam UU JN. Sebab kewenangan pembuatan akta yang berhubungan dengan pertanahan diberikan kepada PPAT. Di satu sisi, para Notaris berpendapat bahwa hal tersebut sudah tepat. Karena Notaris lah yang memang melakukan perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah. Sampai saat ini pun, masih banyak yang berpendapat bahwa penghilangan pasal tersebut akan “mengamputasi” kewenangan dari Notaris dalam pembuatan akta yang berkaitan dengan tanah.
Dalam praktiknya, walaupun di dalam UU JN No 30/2004 dimasukkan klausula tentang kewenangan notaries untuk membuat akta-akta yang berhubungan dengan pertanahan, namun yang dibuat oleh Notaris hanyalah peralihan hak atas tanah yang sudah berakhir jangka waktunya dan sudah menjadi tanah Negara, atau tanah-tanah yang memang hanya merupakan hak sewa atau hak-hak yang menumpang pada hak atas tanah lainnya. Akta-akta yang dibuat juga berupa akta pengoperan hak, akta pengikatan jual beli, akta pengikatan hibah, akta pelepasan hak atau jual beli rumah dan pengoperan hak. Sedangkan untuk tanah-tanah yang hak nya masih ada (belum habis jangka waktunya – untuk HGB, HGU, Kak Pakai), atau tanah Hak Milik misalnya maka yang digunakan adalah akta PPAT untuk proses jual beli, hibah, inbreng, tukar menukar atau pembebanan HGB di atas tanah Hak Milik.

Satu hal yang perlu di cermati dan kurang pas dalam praktiknya di lapangan adalah mengenai akta Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), dimana seperti akta kuasa lainnya, dapat dibuat secara Notariil walaupun dapat juga dibuat dalam bentuk akta PPAT.  Namun, jika akta SKMHT dibuat secara Notariil maka pendaftarannya tidak diterima oleh Kantor Pertanahan setempat (kecuali ada beberapa kantor pertanahan yang mau terima). Sebagian besar kantor pertanahan hanya mau menerima akta SKMHT dalam bentuk blanko PPAT. Walaupun dibuat secara Notariil. Hal ini sebenarnya tidak sesuai dengan UU Jabatan Notaris yang sudah menetapkan mengenai format akta notaries yang bersifat otentik. Namun para notaries banyak yang masih harus “mengalah” dengan kekuasaan dari Kantor Pertanahan, dengan membuat akta SKMHT notariil dalam bentuk  Blanko PPAT. Hal ini menurut pendapat saya juga harus mulai diluruskan. Agar akta notaries benar2 sesuai dengan format dan standard akta yang ditetapkan dalam UU Jabatan Notaris.

Meski RUU JN tidak mengizinkan notaris untuk membuat risalah lelang, namun penambahan pada Pasal 3A menyatakan bahwa :
notaris dapat diangkat sebagai PPAT dan/ Pejabat Lelang Kelas II (Pejabat Lelang) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Untuk mencegah permasalahan yang timbul dengan adanya Pasal 3A maka Pasal 15 ayat 2 huruf (f) dan (g) dihapuskan. Karena notaris tidak memiliki wewenang untuk membuat akta yang berkaitan dengan akta pertanahan dan risalah lelang, maka Notaris tersebut juga harus menjadi seorang PPAT untuk membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, dan menjadi pejabat Lelang Kelas II untuk pembuatan risalah lelang.

Penghapusan huruf (g) pada Pasal 15 ayat 2 UU No 30 tahun 2004 tentang wewenang Notaris membuat akta risalah lelang di dalam RUU dikarenakan wewenang tersebut berbenturan dengan kewenangan pejabat lelang kelas dua di dalam pelaksanaan Lelang. Untuk menjadi pejabat lelang,seorang Notaris harus memenuhi persyaratan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 175/PMK.06/2010 tentang pejabat lelang kelas dua termasuk persyaratan lulus Pendidikan dan Pelatihan Pejabat Lelang yang diselenggarakan oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan.