Bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia menyebabkan semakin tingginya kebutuhan masyarakat akan rumah tinggal. Hal inilah yang menyebabkan usaha jual beli property menjadi suatu usaha yang cukup marak di lapangan, tidak hanya jual beli yang dilakukan oleh pengembang saja, melainkan juga yang dilakukan oleh perorangan.
Sebelum tahun 1998, sebagian besar tanah-tanah yang berada di Jakarta banyak yang berstatus Hak Guna Bangunan. Oleh karena pada masa itu ada wacana bahwa perpanjangan hak atas tanah merupakan salah satu metode menambah pemasukan ke kas pemerintah. Namun demikian, seiring dengan pergantian kepemimpinan, dan perubahan situasi politik serta ekonomi, dimungkinkan bahwa khusus untuk rumah tinggal yang dimiliki oleh seorang warga Negara Indonesia tunggal dapat dimiliki dengan status Hak Milik. Hal ini ditegaskan dalam Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal.
Apa perbedaan Hak Guna Bangunan dengan Hak Milik?
Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) sampai (3) UUPA Hak Guna Bangunan (“HGB”) adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Hak Guna Bangunan diberikan untuk Warga Negara Indonesia (WNI) dan Badan Hukum Indonesia. Jadi secara prinsip, HGB merupakan hak yang diberikan oleh Negara kepada WNI ataupun Badan Hukum Indonesia tersebut untuk mendirikan bangunan di atas tanah yang dimiliki/dikuasai oleh Negara. HGB ini dapat beralih, dialihkan dan dijadikan sebagai jaminan hutang.
Sedangkan Hak Milik berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (1) dan (2) UUPA adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai seseorang atas tanah (1). Hak milik ini hanya dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (tunggal) dan Badan-badan hukum khusus lainnya sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963. Hak milik ini bisa beralih atau dialihkan dan juga bisa dijadikan sebagai jaminan hutang.
Mengapa jika kita membeli rumah di areal perumahan dari pengembang statusnya selalu Hak Guna Bangunan?
Jadi begini, pada umumnya pengembang di suatu perumahan merupakan sebuah perseroan terbatas. Sebagaimana di uraikan di atas, bahwa yang dapat memiliki tanah-tanah dengan status Hak Milik hanyalah WNI tunggal. Oleh karena itu, saat pengembang tersebut memperoleh tanah yang nantinya akan dijadikan sebagai areal perumahan, biasanya tanah-tanah yang masih berstatus hak milik yang dibeli dari warga setempat harus dilepaskan terlebih dahulu ke Negara barulah dimohonkan kembali menjadi Hak Guna Bangunan atas nama Pengembang yang bersangkutan. (*Untuk proses pelepasan hak atau pembebasan hak tersebut akan dibahas secara tersendiri kemudian).
Dengan demikian, saat pengembang tersebut memecah sertifikat dan membangun rumah-rumah di atas tanah tersebut, maka tanah tersebut dilakukan jual beli dalam kondisi masih berstatus Hak Guna Bangunan.
Dapatkah pembeli rumah yang dibeli dari pengembang tersebut meningkatkan status tanah haknya menjadi Hak Milik?
Jawabannya tergantung pada status pembeli rumah dimaksud. Kembali ke syarat pemilikan tanah dengan status Hak Milik sebagaimana diuraikan di atas, maka jika pembeli rumah dimaksud adalah WNI tunggal atau dengan kata lain perorangan WNI, maka tanah dengan status HGB tersebut dapat ditingkatkan menjadi hak milik. Untuk peningkatan status tersebut dapat diajukan sendiri oleh pemilik tanah langsung ke kantor Pertanahan setempat. Namun demikian, beberapa pengembang juga menyediakan jasa untuk menguruskan peningkatan status menjadi Hak Milik kepada konsumennya.
Jika pembelinya berstatus badan hukum, maka pembeli tersebut tidak bisa meningkatkan status hak atas tanahnya dari Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik. Demikian pula jika ternyata pembelinya berstatus Warga Negara Asing (“WNA”). Karena mereka tidak memenuhi syarat sebagai pemegang hak milik. Khusus untuk WNA, berlaku ketentuan dalam Peraturan pemerintah No. 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia. Mengenai hal ini akan dibahas lagi secara tersendiri.
Bagaimana caranya dan Apa Kriterianya?
Berdasarkan Surat edaran dari Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tertanggal 18 September 1998 tentang Petunjuk lebih lanjut mengenai pelaksanaan pemberian Hak Milik atas tanah untuk rumah tinggal, maka prosedur pemberian hak milik untuk rumah tinggal adalah sebagai berikut:
1) bagi tanah untuk RSS/RS, yaitu yang dibangun secara massal (kompleks) dengan luas tanah sampai 200 M2 : dengan pemberian Hak Milik secara umum dengan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1997 jo. Nomor 15 Tahun 1997 dan Nomor 1 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik atas Tanah untuk RSS/RS;
2) bagi tanah untuk rumah tinggal yang telah dibeli oleh pegawai negeri dari Pemerintah : dengan pemberian Hak Milik secara umum dengan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1998;
3) bagi tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai untuk rumah tinggal yang luasnya 600 M2 atau kurang di luar yang tersebut angka 1) dan 2) di atas : dengan pemberian Hak Milik secara umum dengan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1998 ini;
4) bagi tanah untuk rumah tinggal lainnya ;
dengan pemberian Hak Milik secara individual berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972 jo. Nomor 5 Tahun 1973.
Dokumen apa yang harus disiapkan ?
Untuk tanah dengan luas tidak lebih dari 600 m² prosedurnya lebih mudah, beberapa dokumen yang harus disiapkan adalah:
- Formulir permohonan yang telah disediakan di kantor Pertanahan setempat;
- Asli sertifikat tanah (baik itu Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha maupun Hak Pakai) yang akan ditingkatkan statusnya;
- Fotocopy surat IMB (Izin Mendirikan Bangunan) yang menerangkan bahwa tanah tersebut digunakan untuk rumah tinggal; atau surat keterangan dari Kepala Desa/Kelurahan setempat bahwa bangunan tersebut digunakan untuk rumah tinggal;
- Fotocopy SPPT Pajak Bumi dan Bangunan tahun berjalan berikut bukti lunasnya (STTS) nya;
- Asli Surat Rekomendasi Perum Perumnas (jika rumah dibangun oleh Perumnas) di atas tanah Hak Pengelolaan Lahan Perumnas.
- Identitas pemohon (KTP dan KK);
- Surat pernyataan bahwa pemohon akan memperoleh SHM tidak lebih dari 5 (lima) bidang yang seluruhnya meliputi luas tidak lebih dari 5.000 (lima ribu) m².
- Surat Kuasa (jika pengurusannya dikuasakan kepada pihak tertentu seperti Notaris)Membayar biaya
Sedangkan untuk tanah yang luasnya lebih dari 600 m² diperlakukan seperti permohonan hak baru hanya saja prosesnya bukan melibatkan Panitia A. Panitia A adalah pemberian hak yang terdiri dari petugas BPN dan kelurahan. Proses yang dilakukan dalam permohonan hak milik berupa konstatering report hanya di BPN. Outputnya berupa Surat Keputusan (SK) pemberian hak milik. Untuk dokumen persyaratannya sama dengan pengurusan tanah yang kurang dari 600 m².
Bagaimana dengan biayanya?
Dulu berdasarkan penghitungan sesuai PP No. 46 Tahun 2002 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional, ditetapkan dengan rumus perhitungan sebagai berikut :
{2% x (NPT-NPTTKUP)} – {(Sisa HGB/Jangka Waktu HGB) x UP HGB x 50%}
Contoh :
harga NJOP tanah : Rp.1.500.000/m2
luas tanah : 215 m2
maka NJOP tanah : 1.500.000 x 215 = 322.500.000
jadi biaya pemasukan kas negara untuk peningkatan SHM adalah:
2% x (322.500.000-60.000.000) = Rp. 5.250.000
Maka biaya yang dikenakan untuk peningkatan HGB menjadi SHM adalah 5.250.000
Namun demikian, PP No. 46 Tahun 2002 tersebut sudah dicabut dengan Peraturan Pemerintah No. 128 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (“PP No.128/2015). Berdasarkan PP No.128/2015 tersebut, untuk proses peningkatan status hak atas tanah dari HGB menjadi Hak Milik atau dari Hak Pakai Menjadi HGB saat ini tidak dikenakan pemasukan ke Negara sebagaimana perhitungan tersebut di atas.
Dalam PP No. 128/2015 tersebut ditetapkan bahwa untuk per bidang nya dikenakan tarif resmi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp. 50.000,–/bidang. Untuk biaya pengurusannya bagaimana? Dalam praktiknya jika dikerjakan melalui pihak ketiga akan tetap ada biaya tambahan yang besarnya relative. Sehingga untuk menekan biaya, sebaiknya pemilik sertifikat mengurus sendiri proses peningkatan status tersebut ke Kantor Pertanahan setempat letak tanah, agar bisa mendapatkan biaya minimal.
Kalau Ruko, Mengapa tidak bisa ditingkatkan Menjadi Hak Milik?
Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1998 tersebut memang diperuntukkan bagi Rumah tinggal saja yang bisa ditingkatkan menjadi hak milik. Dengan demikian, jika bentuk bangunan maupun di dalam IMB nya tertulis bahwa bangunan tersebut merupakan Ruko, maka tidak dapat diajukan peningkatan haknya menjadi Hak Milik. Walaupun pemiliknya adalah WNI Perorangan? Ya, walaupun pemiliknya adalah WNI Perorangan. Karena memang ke istimewaan tersebut hanya diberikan bagi rumah tinggal, dengan filosofi bahwa rumah tinggal memang diperuntukkan bagi yang bersangkutan untuk memilikinya selamanya.
Tapi… kenapa ya, tetangga saya pemilik ruko bilang bahwa tanahnya berstatus Hak Milik? Nah, kalau begitu, biasanya kejadiannya adalah: sebelum pembangunan ruko tersebut dilakukan, tanahnya sudah berstatus Hak Milik, dan kemudian pemiliknya membangun ruko di atas tanah tersebut. Jadi bukan berasal dari HGB yang ditingkatkan menjadi Hak Milik.
Lalu,.. mengapa tanah kosong yang berstatus HGB tidak dapat ditingkatkan menjadi Hak Milik? Kembali lagi ke konsep dan filosofi pemilikan tanah untuk Hak Milik sebagaimana di atas, bahwa peningkatan hak atas tanah dari HGB menjadi Hak Milik hanya bisa diperuntukkan untuk rumah tinggal. Oleh karena itu, IMB menjadi salah satu syarat yang sulit disimpangi dalam pengajuan permohonan dimaksud.
Sudahkah anda meningkatkan status hak atas tanah untuk rumah anda menjadi Hak Milik?
Sumber :
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria
Keputusan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1998 Tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal
Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada
Peraturan Pemerintah No. 125 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.